Oleh : Kanisius Jehabut
Tim “Law Firm Has & Partners – Timika – Papua
Indonesia sebentar lagi memasuki musim politik. Angin pesta demokrasi lima tahunan itu berhembus kuat hingga ke daerah-daerah seantero nusantara. Bahkan, aroma harum politik menyambut perhelatan akbar Pilkada, Pileg dan Pilpres tahun 2024 terasa mulai menyengat. Semua politisi dan aktivis politik tampil dalam drama ekspresionisme yang makin elegan mengidentifikasikan diri sebagai yang terbaik.
Tidak ketinggalan, Partai Politik selaku “playmaker” dalam pesta demokrasi bergengsi itu mulai bersolek ria. Para elit-elit nasional yang membidani lahirnya partai-partai politik sibuk hilir mudik mengecek kesiapan “kuda tunggangan” mereka, baik dari sisi administrasi untuk lolos verifikasi maupun para politisi yang akan menjadi joki.
Bersamaan dengan itu, proses branding ataupun pencitraan melalui pion-pion (masyarakat akar rumput) maupun para master dari kaum politisi elit mewarnai laman media massa dan layar kaca media elektronik. Tujuannya cuma satu, mereka sedang menyusun pertahanan yang kokoh demi memenangkan pencaturan politik 5 tahunan tersebut. Konon yang terdaftar sampai saat ini sudah 70-an partai.
Perang tak-tik dan strategi dilakukan untuk merebut hati rakyat, terkadang caranya diluar nalar dan kebablasan. Keserakahan dan ketamakan para oknum politisi bermoral kotor di Indonesia, yang berperilaku pragmatis opurtunis menjauhkan tujuan dan hakekat dari politik itu sendiri.
Dalam prakteknya para politisi yang bermoral kotor itu tidak bekerja sendirian. Mereka dibantu oleh oknum-oknum pimpinan ormas (organisasi kemasyarakatan) baik dalam bentuk paguyuban-paguyuban maupun ikatan-ikatan kekeluargaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Eksistensi para pimpinan ormas yang bertingka laku sangat oportunis ini cukup tinggi dan disegani, bahkan dalam case tertentu bisa melebihi pimpinan organisasi Partai Politik.
Maraknya kehadiran ormas dalam perpolitikan di Indonesia atas dasar faktor supply and demand. Dalam hukum ilmu ekonomi digambarkan sebagai hubungan antara calon (pembeli) dan Penjual.”Saya memberi, saya dapat apa”.
Berita buruknya, hubungan supply dan demand ini menurut Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya yang berjudul Democracy For Sale menjadi pemicu tumbuh-berkembang politik uang (money politic) dan premanisme politik.
Para pimpinan ormas membangun relasi yang saling menguntungkan dengan para politisi kotor. Mempraktekan cara-cara yang irasional bahkan cendrung mengorbankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, hanya untuk satu tujuan memenangkan pertarungan Politik. Mereka memainkan peran sebagai broker (calo) politik untuk memenuhi syahwat pribadi dan kelompoknya, dengan melakukan permufakatan jahat yang dikemas rapi dalam kata pesta demokrasi.
Perselingkuhan antara politisi bermoral kotor dan broker (ormas) maka lahirlah politisi kotor dan beracun yang pasti berbanding lurus dengan out putnya yaitu menghasilkan politisi-politisi yang tingkat senses of crisis (kepedulian) yang sangat rendah
Politik balas budi kepada broker-broker politik sangat melekat dengan politisi bermoral kotor dan beracun ini. Sikap ini menggambarkan karakter klientelisme, yakni hubungan patron-klien yang bersifat berulang dan timbal balik dan akan menjadi sebuah ancaman besar bagi keberlangsungan perpolitikan negara ini.
Bila kita merujuk pada para pemikir ilmu politik, sesungguhnya tidak satupun makna negatif dalam pengertian politik. Justru sebaliknya, politik selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kepentingan masyarakat luas, dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Kekuasaan memang pada akhirnya bergantung dari pemegangnya. Apabila orang baik yang berkuasa, kebaikan akan tersebar luas. Sebaliknya, apabila orang jahat yang berkuasa, kerusakan yang akan merajarela.
Fenomena politisi kotor membuat sebagian orang alergi dengan politik bahkan ada yang anti dan alergi untuk membahasnya, kata mereka politik itu ruang yang berlumur dengan kebengisan.
Politik itu sesungguhnya bukanlah cara-cara kotor tetapi merupakan sebuah Ilmu, yang menurut Aristoteles seorang filsuf Yunani kuno dalam bukunya yang berjudul “Politics”, bahwa politik merupakan kegiatan yang luhur karena hakikatnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam politik, orang bisa memperjuangkan keyakinan dan ideologi untuk meraih kesejahteraan bersama seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lain-lain. Politik sesungguhnya adalah medan perjuangan yang mulia, karena di situlah, hampir seluruh hajat hidup rakyat dipertaruhkan. Jika ada kebusukan dalam politik, itu sebenarnya bukan kebusukan politik itu sendiri, tapi para oknum politisi yang bermoral kotor, dengan menunggangi keagungan politik. Mereka bersikap pragmatis-oportunis, yang bergerak dengan kendali keuntungan pribadi, dan abai terhadap kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Orang-orang inilah yang mencoretkan noda dalam politik, yang mempraktikkan tanpa dasar ideologi politik yang kuat. Kemana angin keberuntungan mengarah, ke sana mereka berkerubung. Inilah yang menjadi sebab runtuhnya peradaban politik di Indonesia.
Degradasi moral para politisi ini perlu dilakukan perlawanan, dan yang paling berpontesial adalah generasi muda. Para generasi mudah harus mau masuk dan terlibat aktif dalam perpolitikan di Indonesia untuk mengisi ruang-ruang yang selama ini di isi oleh para politisi bermoral kotor dan beracun.
Nasehat Al-Ghazali, yang diuraikan dalam bukunya berjudul al-Tibru al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk (Emas yang Didesain untuk Nasihat bagi Para Penguasa). Alkisah, Seorang ulama pernah diundang seorang khalifah (raja). “Berilah aku nasihat,” pinta sang raja. Lantas sang alim bercerita: Di sebuah negeri nun jauh hidup seorang raja adil dan mencintai rakyatnya. Suatu ketika ia sakit telinga hingga tuli, lalu ia menangis. Sang penasihat bertanya, “Mengapa engkau menangis, Paduka?” “Aku menangis bukan karena sakitku, tapi karena aku tidak mampu lagi mendengarkan keluhan rakyatku yang meminta pertolongan di depan singgasanaku.” Mendengar hal itu, sang penasihat memerintahkan rakyatnya agar memakai baju merah untuk memberitahu sang raja bahwa orang tersebut sedang dalam kesulitan.
Nasehat dari Al-Ghazali ini harusnya dapat membangunkan para politisi agar mempunyai moral yang baik, berintelektual dan barang tentu harus bijaksana serta mempunyai tingkat kepedulian (senses of crisis) yang tinggi kepada seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat juga mestinya harus mempunyai kepekaan dan kecerdasan untuk tidak memilih para politisi kotor tak bermoral apalagi terlibat dan terjebak dalam rayuan para broker politik yang mencari keuntungan sesaat untuk kepentingan pribadi “Politik perut”, tetapi memilihlah dengan hati nurani, karena suara anda sangat menetukan masa depan bangsa ini.(*)
Komentar