TIMIKA, pojokpapua.id – Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko), Gregorius Okoare, menegaskan bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi urusan lembaga adat terkait Musyawarah Adat (Musdat). Pernyataan ini disampaikan menyusul kedatangan MRP dalam rangka sosialisasi, yang ternyata berujung pada dorongan pembentukan tim formatur untuk percepatan Musdat di Timika beberapa hari lalu.
Menurut Gerry sapaan akrab Ketua Lemasko yang diakui oleh pemerintah dan PT Freeport Indonesia ini, Lemasko maupun Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) telah menjalankan amanat leluhur dalam kepengurusan adat.
“Tiba-tiba kami diminta untuk menggelar Musdat, ini tidak masuk akal. Kami tidak tahu kepentingan MRP dalam hal ini. Lemasa dan Lemasko telah diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Jangan sampai ada kepentingan tertentu yang justru mengadu domba masyarakat,” ujar Gerry saat menggelar jumpa pers bersama perwakilan pengurus di Resto Cenderawasih 66, Senin (17/3/2025).
Gerry menegaskan bahwa berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Musdat hanya dapat dilakukan setiap lima tahun setelah masa kepengurusan berakhir, kecuali ada kejadian luar biasa. “Kepengurusan Lemasko saat ini masih sah dan diakui negara. Oleh karena itu, MRP tidak boleh melakukan intervensi. Pemahaman MRP dalam hal ini sangat keliru,” tambahnya.
Ia juga meminta agar ada kepastian hukum terkait kedudukan MRP dalam kaitannya dengan lembaga adat. “Apakah kita berada di bawah MRP? Seharusnya mereka bersabar. Musdat baru bisa dilakukan pada tahun 2027 sesuai aturan yang ada,” tegasnya.
Gerry juga menyoroti keberadaan kelompok yang mengklaim sebagai Lemasko Timika Papua. Menurutnya, lembaga tersebut hanya dibentuk oleh sekelompok orang dan berbeda dengan Lemasko resmi yang dipimpinnya yang melalui proses Musdat dengan perwakilan dari 82 kampung dan 14 distrik. “Seharusnya MRP memberikan pemahaman kepada kelompok yang membentuk lembaga tanpa prosedur resmi, bukan malah memperkeruh keadaan,” katanya.
Ketua Aliansi Pemuda Kamoro, Rafael Takaoreyau, juga menegaskan bahwa MRP tidak memiliki wewenang untuk mengatur AD/ART lembaga. “MRP hanya merupakan lembaga pertimbangan bagi gubernur dan wakil gubernur. Justru mereka adalah utusan lembaga adat, sehingga seharusnya mereka menghormati lembaga adat yang sudah ada,” ujarnya.
Rafael menambahkan bahwa masyarakat adat selama ini telah hidup dalam tatanan adat yang terstruktur. “Tidak ada alasan untuk mengadakan Musdat mendadak atau membentuk tim formatur secara tiba-tiba. Steering committee harus dibubarkan, dan kita harus mengikuti mekanisme yang telah diatur,” katanya.
DPA Lemasko, Yohanis Mamiri juga menekankan poin penting yang perlu dicermati adalah bahwa kehadiran pemerintah dan MRP sejajar, sehingga tidak bisa melakukan intervensi terhadap lembaga adat. Jika ada permasalahan internal, penyelesaiannya harus dilakukan secara adat. “Sosialisasi yang dilakukan MRP kemarin tiba-tiba berubah menjadi keputusan pembentukan tim formatur dan pelaksanaan Musdat. Padahal, Lemasko telah berdiri sejak tahun 1996 dan tetap sah,” jelas Yohanis.
Ia juga mengingatkan bahwa intervensi yang dilakukan MRP berpotensi memecah belah masyarakat dan menimbulkan konflik. Oleh karena itu, Lemasko akan tetap berpegang pada AD/ART dan melaksanakan Musdat pada tahun 2027 sesuai dengan keputusan Kemenkumham.
Yohanis mengimbau masyarakat Kamoro agar tidak mudah terprovokasi dengan isu yang beredar. “Mari kita tetap berpegang teguh pada proses yang benar dalam lembaga adat. Kami juga berharap para intelektual Kamoro yang mendukung MRP dapat memahami dan mengikuti mekanisme organisasi yang ada,” katanya.
DPA Lemasko, Thomas Too menambahkan langkah yang diambil oleh MRP dianggap menyesatkan karena mencoba menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak benar. “Ada agenda tertentu di balik upaya percepatan Musdat ini. Kami tidak ingin ada gejolak di tengah masyarakat,” tegas Thomas.
Beberapa pihak juga meminta pembekuan bantuan terhadap lembaga adat, padahal Lemasko menaungi masyarakat adat Kamoro yang telah berinisiatif membentuknya. “MRP itu hanya titipan lembaga adat untuk membantu pemerintahan. Jangan sampai mereka malah berupaya melakukan intervensi yang tidak semestinya,” pungkasnya.(*)
Komentar