oleh

Masyarakat Nyatakan Sikap Tolak Ibukota Papua Tengah di Nabire kepada Komisi II

TIMIKA – Rancangan Undang Undang tentang pemekaran tiga provinsi di Papua yaitu Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Pegunungan masih dalam tahap pembahasan tingkat panja Komisi II DPR RI.

Untuk menampung aspirasi masyarakat, Komisi II DPR RI melakukan rapat kerja di Jayapura bersama para bupati se-Provinsi Papua di Jayapura, Sabtu (25/6/2022). Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia didampingi Wakil Ketua Komisi, Junirmat Girsang bersama anggota Komisi II lainnya.

Para bupati hadir untuk menyampaikan aspirasi termasuk Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, SE MH selaku Ketua Asosiasi Bupati Wilayah Adat Mee Pago yang dengan tegas menyampaikan kepada Komisi II DPR RI menolak pemindahan ibukota Papua Tengah ke Nabire.

Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, SE MH menyampaikan aspirasi di depan Komisi II DPR RI.

Bupati Mimika menyatakan, para bupati pada 1 November 2019 diantaranya Bupati Nabire, Mimika, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya dan Puncak. Serta bersepakat memilih Mimika sebagai ibukota. Sehingga ia menilai beberapa bupati tidak konsisten dengan pernyataan sebelumnya.

Mimika kata Bupati Omaleng, sudah lama mempersiapkan diri sebagai ibukota dengan membangun infrastruktur termasuk gedung pemerintahan yang akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Papua. Serta dukungan anggaran sebesar Rp2 triliun dari APBD Kabupaten Mimika untuk Papua Tengah.

Perwakilan masyarakat menyerahkan aspirasi kepada Komisi II DPR RI.

Mendukung pernyataan Bupati, masyarakat juga menyampaikan pernyataan sikap menolak ibukota Provinsi Papua Tengah di Nabire. Isinya, pertama, menolak tegas hasil rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI yang menunjuk ibukota Provinsi Papua Tengah dipindahkan ke Nabire.

Kedua, timika layak sebagai ibukota Provinsi Papua Tengah sesuai kajian akademik maupun dari sisi sosial politik. Ketiga, Komisi II DPR RI harus mengetahui bahwa perjuangan Papua Tengah telah ditetapkan ibukotanya di Timika sesuai dengan UU RI Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Pasal 14 (1) Ibukota Provinsi Irian Jaya Tengah berkedudukan di Timika.

Keempat, untuk mempertahankan poin 3 tersebut di atas maka pada tahun 2003 telah terjadi peranh saudara menyebabkan korban jiwa sebanyak 6 orang dan kerugian material, imaterial sebagai wujud perjuangan masyarakat.

Kelima, apabila ibukota Provinsi Papua Tengah tetap dipaksakan di Nabire oleh Komisi II maka akan terjadi konflik sosial antar suku kekerabatan di Timika untuk kedua kalinya (Konflik Pro dan Kontra Tahun 2003 akan terulang kembali) dan komisi II DPR RI harus bertanggungjawab.

Keenam, apabila ibukota Provinsi Papua Tengah tetap di Nabire dengan lokasi rawan gempa dan bisa menimbulkan kerugian negara maka Komisi II DPR RI harus bertanggungjawab karena mengabaikan kajian akademik terkait wilayah geografis.

Ketujuh, apabila ibukota Provinsi Papua tengah tetap dipaksakan penetapannya di Nabire, berarti komisi II DPR RI sedang merencanakan konflik horisontal di Tanah Papua.

Delapan, bahwa pada tanggal 01 November 2019 di Hotel Grand Mozza Timika, para Bupati (7 kabupatem mimika, nabire, paniai, dogiyai, deiyai, intan jaya, puncak) telah menandatangani kesepakatan bahwa Timika adalah ibukota Provjnsi Papua Tengah (dokumen terlampir).

Menyikapi perebutan ibukota Provinsi Papua Tengah, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia mendorong agar para Bupati berdiskusi untuk mencapai musyawarah mufakat. Tapi tidak dengan cara voting atau mengambil suara terbanyak melainkan harus mufakat. “Jadi ibukota kita serahkan kepada mereka,,” katanya.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed