TIMIKA, pojokpapua.id – Beredarnya informasi kelangkaan obat malaria di tengah masyarakat ditepis Dinas Kesehatan (Dinkes) . Dalam jumpa pers yang digelar oleh Dinas Kesehatan di Hotel Horison Diana, Sabtu (27/5/2023) disebutkan jika stok obat malaria di Tahun 2023 cukup atau tersedia.
Kadinkes Mimika, Reynold R Ubra, mengatakan pihaknya mengelola obat malaria, salah satu obat program nasional yang diperoleh langsung dari Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi Papua.
Adapun kebutuhan obat malaria per tahun kira-kira 3 juta butir. “Sampai hari ini kita masih memperolehnya,” ujarnya.
Sementara itu sejak tahun lalu ketika terjadi kekosongan obat malaria secara nasional, maka langkah-langkah yang diambil oleh Dinkes adalah salah satunya mendistribusikan obat malaria tersebut tidak hanya difasilitas kesehatan milik pemerintah seperti Puskesmas maupun rumah-rumah sakit, tetapi juga klinik swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Kemudian lanjutnya pada perkembangannya di bulan September 2022 terutama dari Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi Papua memastikan bahwa obat malaria tersebut yang dikenal dengan obat DHP (obat biru) tersedia.
Setelah dilakukan evaluasi terhadap ketersediaan Obat biru, maka fasilitas kesehatan yang dikelola oleh TNI/Polri ini harus jadi atensi Pemda karena pada tingkat pusat kerja sama ini menjadi perhatian bersama oleh Pemkab Mimika.
Kondisi malaria hari ini menjadi latar belakang yang pertama adalah ketersediaan obat malaria itu perencanaanya dihitung berdasarkan jumlah kasus. Lebih kurang per tahun proporsi malaria di Mimika antara 36-40 persen sehingga perencanaan berdasarkan jumlah kasus dan juga variabel lain, misalnya pemeriksaan malaria secara massal ataupun unsur satuan tugas yang akan datang di Timika menjadi variabel perhitungan Dinkes.
Yang terpenting disini bagaimana ketepatan dalam diagnosa, karena salah diagnosa maka perencanaan juga akan salah. Yang ke dia adalah ketepatan dalam pemberian obat berdasarkan parasit malarianya.
Ia mencontohkan pasien yang sakit malaria tropika berdasarkan berat badan akan memperoleh obat malaria coklat berbeda dibandingkan dengan orang yang menderita malaria tersiana. Yang ke tiga edukasi kepatuhan. Seperti diketahui 70 kasus malaria di Timika itu turut dipengaruhi oleh pasien yang tidak patuh dan ini memboroskan obat malaria.
Dalam periode dua bulan ini hampir sebagian besar masyarakat yang malaria kembali lagi dengn malaria yang sama. Selanjutnya ada upaya pengendalian malaria melalui bagaimana menjaga lingkungan yang bersih dari gigitan nyamuk. “Itu sepertinya yang paling utama,” ujarnya.
Dinkes kata Reynold tentu melihat 4 variabel ini sebagai perencanaan untuk menyusun kebutuhan obat sampai pada distribusi, mencatat dan melapor. “Sampai hari ini penyebab malaria tertinggi itu yang paling utama adalah lingkungan,” ungkapnya.
Dengan sarang nyamuk yang banyak akhirnya hari ini penyakit bersumber dari vektor nyamuk, itu menjadi beban ganda bagi Puskesmas yakni malaria dan demam berdarah yang dalam dua pekan ini tinggi. Mengobati kata Reynold bukan cara yang paling ampuh, tapi menghindari lingkungan dan menghindari gigitan nyamuk itulah yang paling utama. Ke dua isu penggunaan obat yang tidak tuntas. Apa yang dilakukan dinas soal ini. Sebut Reynold, tentu yang pertama melakukan deteksi dan pengobatan sesuai protokol kesehatan. Yang ke dia di seluruh fasilitas baik itu pemerintah maupun swasta wajib memberikan edukasi untuk pengobatan malaria. Puskesmas bisa memfolow up pasien, ikut sampai pasien minum obat selesai. Sementara klinik swasta ini yang harus dievaluasi dan yang ke tiga adalah evaluasi untuk menentukan parasit malaria dan terpenting bagaimana pembiayaannya
Oleh karena itu dalam beberapa bulan terakhir, obat malaria yang ada di Instalasi Farmasi Kabupaten (IFK) difokuskan di Puskesmas, di rumah-rumah sakit dan juga di satuan TNI/Polri. Sementara di Faskes swasta karena obat makaria hari ini tersedia, maka mereka bisa mengadakan yang secara mandiri. Obat malaria yang ada di Dinkes ada dua yakni obat malaria program yakni obat primal dan paten bernama dearteb. Tahun lalu masalah pembiayaan menjadi isu di Timika, sehingga di September 2022, harga obat tertingi dearteb paten itu yang harus disediakan dan dijual karena pengadaan secara mandiri lebih kurang satu tablet sekitar Rp 18.000. Artinya Faskes jika pengadaan obat paten sendiri menjualanya adalah Rp 18.00 per butir. Sementara obat program nasional itu secara grati atau tidak diperjualbelikan. Hal ini dilakukan agar obat primal itu jangan sampai kisruh di Faskes swasta. Ini menjadi kontrol dan pengendalian penting kontrol dan pengendalian harga obat malaria. Karena kedua-duanya sama berwarna biru yang bisa membedakan adalah kemasannya.(*)
Komentar